Minggu, 17 Juni 2012

Kesendirian Bersama Tuhan



Tanpa memiliki kesendirian bersama Tuhan, sangatlah tidak mungkin untuk hidup dalam suatu kehidupan yang rohani. Kesendirian untuk memberikan waktu dan tempat bagi Allah berbicara kepada kita.

Jika kita benar-benar percaya bahwa bukan hanya Allah itu ada, tetapi juga percaya bahwa Dia hadir secara aktif dalam kehidupan kita —menyembuhkan, mengajar, dan memimpin— maka kita perlu meluangkan waktu dan tempat secara khusus untuk memberikan perhatian kita kepada-Nya sepenuhnya. Yesus berkata, “Masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi” (Mat. 6:6).

Memberikan waktu untuk menyendiri bersama Tuhan dalam kehidupan kita merupakan salah satu hal yang paling penting, tetapi juga merupakan disiplin yang paling sulit. Meskipun kita mungkin memiliki kerinduan yang dalam untuk bersekutu secara pribadi dengan sungguh-sungguh bersama Tuhan, tetapi kita juga mengalami keprihatinan tertentu pada saat kita memasuki tempat dan waktu untuk menyendiri. Segera setelah kita sendirian bersama Tuhan, tanpa ada orang lain untuk bercakap-cakap, tanpa ada buku-buku untuk dibaca, tanpa ada televisi untuk ditonton, atau tanpa ada pembicaraan lewat telepon yang dilakukan, maka timbullah kegalauan di dalam hati kita.

Kegalauan ini dapat begitu mengganggu dan membingungkan sehingga kita tidak dapat tahan untuk tidak melakukan kesibukan lagi. Akan tetapi, masuk ke dalam kamar pribadi dan menutup pintu tidak berarti kita lalu segera menumpahkan segala keraguan hati kita, kekhawatiran kita, ketakutan kita, ingatan buruk yang kita miliki, masalah kita yang belum terselesaikan, perasaan marah kita, dan keinginan hati kita. Sebaliknya, pada saat kita telah menghentikan kebingungan kita di luar, kita sering mengalami bahwa kebingungan kita di bagian dalam menjadi lebih nyata. Kita pun sering menggunakan kebingungan kita di luar itu untuk melindungi diri kita dari kegalauan di bagian dalam. Karena itu tidaklah mengherankan apabila sulit sekali bagi kita memiliki waktu untuk menyendiri bersama dengan Tuhan. Konfrontasi atau pergumulan yang terjadi di dalam hati kita itu bisa sangat menyiksa apabila kita tetap bertahan.

Hal ini menyebabkan disiplin untuk menyendiri bersama dengan Tuhan menjadi lebih penting dari segalanya. Kesendirian bersama dengan Tuhan itu bukanlah suatu tanggapan (respon) yang spontan bagi kehidupan yang penuh dengan kesibukan dan keasyikan. Ada banyak sekali alasan untuk tidak menyendiri bersama dengan Tuhan. Karena itu, kita harus dengan seksama merencanakan atau mengatur waktu untuk menyendiri dengan Tuhan.

Lima atau sepuluh menit setiap hari barangkali kita semua bisa bertahan untuk melakukannya. Mungkin kita telah siap untuk menyediakan waktu satu jam setiap hari, semalam suntuk dalam seminggu, sehari penuh dalam sebulan, atau seminggu dalam setahun. Banyaknya waktu yang diberikan oleh setiap pribadi tidak sama antara satu dengan lainnya, sesuai dengan watak (temperamen), umur, pekerjaan, cara hidup, dan kedewasaan masing-masing individu. Tetapi kita tidak pernah mengalami kehidupan yang rohani dengan sungguh-sungguh jika kita tidak menyediakan waktu khusus untuk menyendiri bersama Allah dan mendengarkan suara-Nya.

Mungkin kita harus menjadwalkan dalam kalender kegiatan harian kita, sehingga tak seorangpun dapat mengambil waktu khusus tersebut. Dengan demikian kita akan bisa berkata kepada semua sahabat, tetangga, murid, langganan, klien, atau pun orangtua kita, “Maafkan saya, sebab saya telah membuat sebuah janji pada saat itu dan tidak dapat diubah.”

Pada waktu kita telah mengikat diri untuk menyediakan waktu secara pribadi bagi Tuhan, maka kita mengembangkan perhatian yang sungguh terhadap suara Allah di dalam diri kita. Pada hari-hari, minggu-minggu, bahkan bulan-bulan pertama, barangkali kita merasakan bahwa kita hanya membuang-buang waktu dengan melakukan hal itu. Pada awalnya waktu menyendiri bersama Tuhan itu mungkin lebih sedikit artinya dibandingkan dengan bila kita dibombardir oleh ribuan pikiran dan perasaan yang timbul dari tempat tersembunyi dalam pikiran kita.

Seorang penulis muda Kristen menjelaskan tentang langkah awal doa seorang diri, dari pengalaman seseorang yang setelah bertahun-tahun hidup dengan pintu terbuka, pada akhirnya memutuskan untuk menutup pintu itu. Para pengunjung yang biasa datang dan memasuki rumahnya mulai mengetok pintunya, sambil bertanya-tanya mengapa mereka tidak diijinkan masuk. Hanya pada saat mereka sadar bahwa mereka tidak disambut dengan baik, secara berangsur-angsur mereka tidak datang lagi ke rumah orang itu. Hal ini merupakan pengalaman dari seorang yang memutuskan untuk melakukan persekutuan pribadi bersama Tuhan setelah sekian lama kehidupannya tidak memiliki disiplin rohani sama sekali. Pada awalnya, berbagai macam gangguan itu tetap menyatakan dirinya. Lama-kelamaan, karena mereka tidak diperhatikan lagi sama sekali, maka mereka dengan pelan-pelan meninggalkan tempat itu.

Jelas sekali bahwa persoalannya adalah kesetiaan yang diperlukan pada disiplin ini. Pada permulaannya, menyendiri bersama dengan Tuhan itu tampaknya sangat berlawanan dengan segala keinginan kita, sehingga kita terus-menerus digoda untuk melarikan diri dari hal itu. Salah satu cara untuk melarikan diri dari hal itu ialah mimpi di siang hari, atau mudahnya, kita tertidur. Tetapi apabila kita memegang disiplin itu erat-erat, dengan keyakinan penuh bahwa Allah bersama dengan kita sekalipun kita belum mendengar suara-Nya, maka pelan-pelan kita mengerti bahwa kita tidak ingin kehilangan waktu kita untuk menyendiri bersama Allah. Walaupun kita tidak mengalami banyak kepuasan dalam kesendirian kita dengan Allah, kita menyadari bahwa satu hari tanpa menyendiri dengan Allah adalah kurang “rohani” daripada satu hari dengan menyendiri bersama Allah.

Secara intuitif, kita tahu bahwa sangatlah penting bagi kita menyediakan waktu untuk menyendiri bersama Allah. Kita bahkan mulai menghargai waktu yang tadinya terbuang dengan sia-sia. Kerinduan untuk menyendiri bersama Allah seringkali merupakan tanda awal dari doa, tanda awal kehadiran Roh Allah tidak lagi tidak kita ketahui. Pada saat kita mengosongkan diri kita dari segala kekhawatiran kita, kita bisa tahu, bukan hanya dengan pikiran kita saja, tetapi juga dengan hati kita, bahwa sebenarnya kita tidak pernah sendirian, bahwa Roh Allah selalu bersama dengan kita selama-lamanya.

Dengan demikian, kita bisa memahami apa yang dituliskan oleh Paulus kepada jemaat Kristen di Roma, “Bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rom. 5:3-5).

Dalam kesendirian bersama Allah itu, kita bisa mengetahui kehadiran Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. Dengan demikian, perasaan sakit dan pergumulan yang kita hadapi pada saat menyendiri bersama Allah itu menjadi jalan menuju pengharapan, karena pengharapan kita tidak berdasarkan atas sesuatu yang akan terjadi setelah segala penderitaan kita berlalu, tetapi berdasarkan atas kehadiran Roh Allah yang benar-benar menyembuhkan semua penderitaan yang sedang kita alami. Disiplin untuk menyendiri bersama Allah ini secara bertahap memungkinkan kita untuk merasakan kehadiran Allah yang penuh harapan dalam kehidupan kita. Bahkan memungkinkan kita untuk mulai mencicipi sebagian kecil dari sukacita dan damai sejahtera yang baru akan kita alami sepenuhnya di dalam langit baru dan bumi baru kelak.

Disiplin untuk menyendiri bersama Allah, sebagaimana telah saya jelaskan, merupakan salah satu disiplin yang paling besar kekuatannya di dalam mengembangkan kehidupan doa. Hal itu merupakan cara yang sederhana, meskipun tidak mudah, untuk membebaskan diri kita dari perbudakan kesibukan dan keasyikan kita, serta mulai mendengarkan suara yang menjadikan segala sesuatu baru.

Biarlah saya memberikan suatu gambaran yang lebih konkrit tentang bagaimana disiplin dalam menyendiri bersama Allah itu bisa dipraktekkan. Suatu keuntungan yang besar bila mempunyai sebuah ruangan atau pojok suatu ruangan —atau kamar kecil (WC) yang besar!— yang disediakan untuk disiplin menyendiri bersama Allah.

Sebuah tempat yang telah “siap” semacam itu menolong kita untuk mengarahkan hati kita pada kerajaan-Nya tanpa persiapan yang memakan banyak waktu. Hal yang penting ialah bahwa tempat untuk menyendiri bersama Allah itu harus merupakan tempat yang sederhana atau bersahaja, tetapi bersih. Di sanalah kita tinggal dalam hadirat Tuhan. Godaan bagi kita adalah melakukan sesuatu hal yang berguna: Membaca sesuatu yang menimbulkan gairah, memikirkan sesuatu yang menarik, atau mengalami sesuatu yang tidak seperti biasanya. Tetapi waktu kita menyendiri bersama Tuhan itu justru merupakan waktu di mana kita ingin tinggal dalam hadirat Tuhan dengan tangan hampa, telanjang, lemah, tanpa banyak ingin menunjukkan, membuktikan, atau mempertahankan sesuatu kepada Tuhan. Hal itu merupakan cara bagi kita secara pelan-pelan belajar untuk mendengarkan suara Allah yang lemah lembut.

Tetapi apakah yang harus kita lakukan dengan berbagai macam hal yang menganggu kita itu? Apakah kita harus memerangi semua gangguan ini dan berharap bahwa dengan demikian kita menjadi semakin penuh perhatian terhadap suara Allah? Hal ini tampaknya bukanlah cara untuk bisa berdoa dengan sungguh-sungguh. Menciptakan tempat yang kosong di mana kita dapat mendengarkan Roh Allah berbicara tidaklah mudah apabila kita sedang mengerahkan seluruh energi kita untuk memerangi semua gangguan itu. Dengan memerangi semua gangguan itu dalam cara yang langsung seperti itu, akhirnya kita lebih banyak memberikan perhatian kepada mereka daripada yang seharusnya mereka terima. Akan tetapi, kita harus menaruh perhatian terhadap firman Allah.

Sebuah mazmur, perumpamaan, cerita Alkitab, perkataan Yesus, atau sebuah kata dari Paulus, Petrus, Yakobus, Yudas, ataupun Yohanes dapat menolong kita untuk memusatkan perhatian kita pada kehadiran Allah. Dengan demikian, kita menghilangkan “berbagai macam hal lainnya” itu yang pengaruhnya selalu menganggu kita. Apabila kita menempatkan perkataan dari Alkitab di tengah-tengah kesendirian bersama Allah, entahkah kata-kata seperti pernyataan singkat, beberapa kalimat, atau sebuah teks yang lebih panjang dapat berfungsi sebagai tempat di mana kita kembali manakala hati dan pikiran kita telah mengembara ke berbagai tempat yang berlainan.

Perkataan firman Allah itu merupakan tempat berlabuh yang aman di tengah lautan yang menggelora. Pada akhir saat teduh yang seperti itu di mana kita tinggal bersama Allah, melalui doa syafaat, kita bisa membawa semua orang yang menjadi bagian dalam kehidupan kita, entahkah semua sahabat maupun orang yang memusuhi kita, ke dalam hadirat-Nya yang menyembuhkan. Dan mengapa tidak mengakhiri dengan kata-kata yang Yesus sendiri ajarkan kepada kita, yaitu Doa Bapa Kami?

Hal tersebut di atas hanyalah merupakan salah satu cara yang khusus (spesifik) di mana disiplin menyendiri bersama Allah bisa dipraktekkan. Berbagai macam variasi yang tidak ada habis-habisnya bisa saja dilakukan. Berjalan-jalan di alam terbuka, mengulangi doa-doa yang pendek, menyanyi, dan masih ada banyak unsur lainnya dapat menjadi bagian yang sangat bermanfaat dalam disiplin menyendiri bersama Allah. Tetapi kita harus menentukan cara khusus manakah dalam disiplin ini yang cocok bagi kita, sehingga kita dapat tetap setia.

Lebih baik setiap hari menyendiri bersama Allah selama sepuluh menit daripada melakukan hal itu selama satu jam penuh tapi hanya kadang-kadang saja. Kesederhanaan dan keteraturan merupakan pemandu atau penuntun yang terbaik dalam menemukan jalan kita. Kedua hal itu memungkinkan kita menjadikan disiplin menyendiri bersama Allah sebagai bagian dalam kehidupan kita sehari-hari seperti halnya makan dan tidur. Apabila hal itu terjadi, segala kekuatiran kita yang sangat mengganggu itu secara pelan-pelan akan kehilangan kekuatannya dalam diri kita, dan aktivitas Roh Allah yang memperbaharui itu secara pelan-pelan pula akan membuat kehadiran-Nya diketahui.

Semakin kita melatih diri kita untuk menyediakan waktu bersama Allah, dan hanya dengan Dia sendiri, semakin kita akan tahu bahwa Allah bersama-sama dengan kita dalam setiap saat dan di segala tempat. Dengan demikian, kita akan bisa mengenal Dia sekalipun di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan kesibukan dan aktivitas. Pada saat dan tempat yang hening itu menjadi keheningan di dalam hati kita, maka kita tidak akan pernah meninggalkan waktu menyendiri bersama Allah itu. Kita akan bisa menikmati kehidupan yang rohani tersebut di mana saja dan kapan saja. Jadi, disiplin menyendiri bersama Allah tersebut memampukan kita untuk menikmati kehidupan yang penuh dengan berbagai macam aktivitas di dunia ini. Sementara itu pula kita selalu tinggal dalam hadirat Allah yang hidup. *
  • Sumber: Kepemimpinan, Vol. 6, Tahun II/“Kesendirian Bersama Tuhan”/Henri J.M. Nouwen/Yayasan ANDI, Yogyakarta/1981

Tidak ada komentar:

Posting Komentar